Pengertian
Logika
Logika merupakan cabang
filsafat yang bersifat praktis berpangkal pada penalaran, dan sekaligus juga
sebagai dasar filsafat dan sebagai sarana ilmu. Dengan fungsi sebagai dasar
filsafat dan sarana ilmu karena logika merupakan “jembatan penghubung” antara
filsafat dan ilmu, yang secara terminologis logika didefinisikan: Teori tentang
penyimpulan yang sah. Penyimpulan pada dasarnya bertitik tolak dari suatu
pangkal-pikir tertentu, yang kemudian ditarik suatu kesimpulan. Penyimpulan
yang sah, artinya sesuai dengan pertimbangan akal dan runtut sehingga dapat
dilacak kembali yang sekaligus juga benar, yang berarti dituntut kebenaran
bentuk sesuai dengan isi.
Logika sebagai teori
penyimpulan, berlandaskan pada suatu konsep yang dinyatakan dalam bentuk kata
atau istilah, dan dapat diungkapkan dalam bentuk himpunan sehingga setiap
konsep mempunyai himpunan, mempunyai keluasan. Dengan dasar himpunan karena
semua unsur penalaran dalam logika pembuktiannya menggunakan diagram himpunan,
dan ini merupakan pembuktian secara formal jika diungkapkan dengan diagram
himpunan sah dan tepat karena sah dan tepat pula penalaran tersebut.
Berdasarkan proses penalarannya
dan juga sifat kesimpulan yang dihasilkannya, logika dibedakan antara logika
deduktif dan logika induktif. Logika deduktif adalah sistem penalaran yang
menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah berdasarkan bentuknya serta
kesimpulan yang dihasilkan sebagai kemestian diturunkan dari pangkal pikirnya.
Dalam logika ini yang terutama ditelaah adalah bentuk dari kerjanya akal jika
telah runtut dan sesuai dengan pertimbangan akal yang dapat dibuktikan tidak
ada kesimpulan lain karena proses penyimpulannya adalah tepat dan sah. Logika
deduktif karena berbicara tentang hubungan bentuk-bentuk pernyataan saja yang
utama terlepas isi apa yang diuraikan karena logika deduktif disebut pula
logika formal.
Logika induktif adalah sistem
penalaran yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah dari sejumlah hal
khusus sampai pada suatu kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi. Logika ini
sering disebut juga logika material, yaitu berusaha menemukan prinsip-prinsip
penalaran yang bergantung kesesuaiannya dengan kenyataan, oleh karena itu
kesimpulannya hanyalah keboleh-jadian, dalam arti selama kesimpulannya itu tidak
ada bukti yang menyangkalnya maka kesimpulan itu benar, dan tidak dapat
dikatakan pasti.
Bahasa Logika
Bahasa merupakan pernyataan
pikiran atau perasaan sebagai alat komunikasi manusia. Dan khusus alat
komunikasi ilmiah disebut dengan bahasa ilmiah, yaitu kalimat berita yang
merupakan suatu pernyataan-pernyataan atau pendapat-pendapat. Bahasa sangat
penting juga dalam pembentukan penalaran ilmiah karena penalaran ilmiah
mempelajari bagaimana caranya mengadakan uraian yang tepat dan sesuai dengan pembuktian-pembuktian
secara benar dan jelas. Bahasa secara umum dibedakan antara bahasa alami dan
bahasa buatan. Bahasa alami ialah bahasa sehari-hari yang biasa digunakan untuk
menyatakan sesuatu, yang tumbuh atas dasar pengaruh alam sekelilingnya, dibedakan
antara bahasa isyarat dan bahasa biasa. Bahasa buatan ialah bahasa yang disusun
sedemikian rupa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan akal pikiran untuk maksud
tertentu, yang dibedakan antara bahasa istilahi dan bahasa artifisial. Bahasa
buatan inilah yang dimaksudkan bahasa ilmiah, dirumuskan bahasa buatan yang
diciptakan oleh para ahli dalam bidangnya dengan menggunakan istilah-istilah
atau lambang-lambang untuk mewakili pengertian-pengertian tertentu.
Sebagai pernyataan pikiran atau
perasaan dan juga sebagai alat komunikasi manusia karena bahasa mempunyai 3
fungsi pokok, yakni fungsi ekspresif atau emotif, fungsi afektif atau praktis,
dan fungsi simbolik dan logik. Khusus untuk logika dan juga untuk bahasa ilmiah
yang harus diperhatikan adalah fungsi simbolik karena komunikasi ilmiah
bertujuan untuk menyampaikan informasi yang berupa pengetahuan. Agar komunikasi
ilmiah ini berjalan dengan baik maka bahasa yang dipergunakan harus logik
terbebas dari unsur-unsur emotif.
Bahasa yang diungkapkan dalam
bentuk pernyataan atau kalimat deklaratif jika ditinjau berdasarkan isinya
dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu pernyataan analitik dan pernyataan
sintetik.
Pernyataan (statement) dalam
logika ditinjau dari segi bentuk hubungan makna yang dikandungnya, pernyataan
itu disamakan juga dengan proposisi. Proposisi atau pernyataan berdasarkan
bentuk isinya dibedakan antara 3 macam, yakni proposisi tunggal, proposisi
kategorik, dan proposisi majemuk.
Tiga macam proposisi atau
pernyataan di atas yang sebagai dasar penalaran adalah proposisi kategorik
untuk penalaran kategorik, dan proposisi majemuk untuk penalaran majemuk.
Adapun proposisi tunggal atau proposisi simpel pengolahannya dapat masuk dalam
penalaran kategorik dan dapat juga masuk dalam penalaran majemuk.
Sejarah Perkembangan Logika
Logika pertama-tama disusun
oleh Aristoteles (384-322 SM), sebagai sebuah ilmu tentang hukum-hukum berpikir
guna memelihara jalan pikiran dari setiap kekeliruan. Logika sebagai ilmu baru
pada waktu itu, disebut dengan nama “analitika” dan “dialektika”. Kumpulan
karya tulis Aristoteles mengenai logika diberi nama Organon, terdiri atas enam
bagian.
Theoprastus (371-287 sM),
memberi sumbangan terbesar dalam logika ialah penafsirannya tentang pengertian
yang mungkin dan juga tentang sebuah sifat asasi dari setiap kesimpulan.
Kemudian, Porphyrius (233-306 M), seorang ahli pikir di Iskandariah menambahkan
satu bagian baru dalam pelajaran logika. Bagian baru ini disebut Eisagoge,
yakni sebagai pengantar Categorie. Dalam bagian baru ini dibahas
lingkungan-lingkungan zat dan lingkungan-lingkungan sifat di dalam alam, yang
biasa disebut dengan klasifikasi. Dengan demikian, logika menjadi tujuh bagian.
Tokoh logika pada zaman Islam
adalah Al-Farabi (873-950 M) yang terkenal mahir dalam bahasa Grik Tua,
menyalin seluruh karya tulis Aristoteles dalam berbagai bidang ilmu dan karya
tulis ahli-ahli pikir Grik lainnya. Al-Farabi menyalin dan memberi komentar
atas tujuh bagian logika dan menambahkan satu bagian baru sehingga menjadi
delapan bagian.
Karya Aristoteles tentang
logika dalam buku Organon dikenal di dunia Barat selengkapnya ialah sesudah
berlangsung penyalinan-penyalinan yang sangat luas dari sekian banyak ahli
pikir Islam ke dalam bahasa Latin. Penyalinan-penyalinan yang luas itu membukakan
masa dunia Barat kembali akan alam pikiran Grik Tua.
Petrus Hispanus (meninggal 1277
M) menyusun pelajaran logika berbentuk sajak, seperti All-Akhdari dalam dunia
Islam, dan bukunya itu menjadi buku dasar bagi pelajaran logika sampai abad
ke-17. Petrus Hispanus inilah yang mula-mula mempergunakan berbagai nama untuk
sistem penyimpulan yang sah dalam perkaitan bentuk silogisme kategorik dalam
sebuah sajak. Dan kumpulan sajak Petrus Hispanus mengenai logika ini bernama
Summulae.
Francis Bacon (1561-1626 M) melancarkan
serangan sengketa terhadap logika dan menganjurkan penggunaan sistem induksi
secara lebih luas. Serangan Bacon terhadap logika ini memperoleh sambutan
hangat dari berbagai kalangan di Barat, kemudian perhatian lebih ditujukan
kepada penggunaan sistem induksi.
Pembaruan logika di Barat
berikutnya disusul oleh lain-lain penulis di antaranya adalah Gottfried Wilhem
von Leibniz. Ia menganjurkan penggantian pernyataan-pernyataan dengan
simbol-simbol agar lebih umum sifatnya dan lebih mudah melakukan analisis.
Demikian juga Leonard Euler, seorang ahli matematika dan logika Swiss melakukan
pembahasan tentang term-term dengan menggunakan lingkaran-lingkaran untuk
melukiskan hubungan antarterm yang terkenal dengan sebutan circle-Euler.
John Stuart Mill pada tahun
1843 mempertemukan sistem induksi dengan sistem deduksi. Setiap pangkal-pikir
besar di dalam deduksi memerlukan induksi dan sebaliknya induksi memerlukan
deduksi bagi penyusunan pikiran mengenai hasil-hasil eksperimen dan
penyelidikan. Jadi, kedua-duanya bukan merupakan bagian-bagian yang saling
terpisah, tetapi sebetulnya saling membantu. Mill sendiri merumuskan
metode-metode bagi sistem induksi, terkenal dengan sebutan Four Methods.
Logika Formal sesudah masa Mill
lahirlah sekian banyak buku-buku baru dan ulasan-ulasan baru tentang logika.
Dan sejak pertengahan abad ke-19 mulai lahir satu cabang baru yang disebut
dengan Logika-Simbolik. Pelopor logika simbolik pada dasarnya sudah dimulai
oleh Leibniz.
Logika simbolik pertama
dikembangkan oleh George Boole dan Augustus de Morgan. Boole secara sistematik
dengan memakai simbol-simbol yang cukup luas dan metode analisis menurut
matematika, dan Augustus De Morgan (1806-1871) merupakan seorang ahli
matematika Inggris memberikan sumbangan besar kepada logika simbolik dengan
pemikirannya tentang relasi dan negasi.
Tokoh logika simbolik yang lain
ialah John Venn (1834-1923), ia berusaha menyempurnakan analisis logik dari
Boole dengan merancang diagram lingkaran-lingkaran yang kini terkenal sebagai
diagram Venn (Venn’s diagram) untuk menggambarkan hubungan-hubungan dan
memeriksa sahnya penyimpulan dari silogisme. Untuk melukiskan hubungan
merangkum atau menyisihkan di antara subjek dan predikat yang masing-masing
dianggap sebagai himpunan.
Perkembangan logika simbolik
mencapai puncaknya pada awal abad ke-20 dengan terbitnya 3 jilid karya tulis
dua filsuf besar dari Inggris Alfred North Whitehead dan Bertrand Arthur
William Russell berjudul Principia Mathematica (1910-1913) dengan jumlah 1992
halaman. Karya tulis Russell-Whitehead Principia Mathematica memberikan
dorongan yang besar bagi pertumbuhan logika simbolik.
Di Indonesia pada mulanya
logika tidak pernah menjadi mata pelajaran pada perguruan-perguruan umum.
Pelajaran logika cuma dijumpai pada pesantren-pesantren Islam dan
perguruan-perguruan Islam dengan mempergunakan buku-buku berbahasa Arab. Pada
masa sekarang ini logika di Indonesia sudah mulai berkembang sesuai
perkembangan logika pada umumnya yang mendasarkan pada perkembangan teori
himpunan.
Jenis Logika
Logika dapat dikelompokkan
berdasarkan aspek-aspek seperti sumber darimana pengetahuan logika itu
diperoleh, sejarah perkembangannya, bentuk dan isi argumen, serta proses atau
tata cara penyimpulannya.
Logika Berdasarkan Sumber
Logika Alamiah
Logika alamiah adalah kinerja
akal budi manusia yang berpikir secara tepat dan lurus sebelum dipengaruhi oleh
keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungan yang subjektif. Kemampuan
logika alamiah manusia ada sejak lahir. Hukum-hukum logika yang dibawa sejak
lahir ini memungkinkan manusia dapat bekerja dan bertindak baik secara spontan
maupun secara sadar. Dengan kata lain, mendasarkan diri pada akal sehat saja,
manusia mampu berpikir dan bertindak.
Logika Ilmiah
Logika ilmiah menjadi ilmu
khusus yang merumuskan azas-azas yang harus ditepati dalam setiap pemikiran.
Berkat pertolongan logika ilmiah inilah akal budi dapat bekerja dengan lebih
tepat, lebih teliti, lebih mudah dan lebih aman. Dengan demikian, berbeda
dengan logika alamiah yang didapati secara kodrati, logika ilmiah justru harus
diperoleh dengan mempelajari dan menguasai hokum-hukum penalaran sebagaimana
mestinya. Logika ilmiah dimaksudkan untuk menghindarkan kesesatan berpikir
atau, paling tidak, menguranginya.
Logika Berdasarkan Sejarah Perkembangannya
Logika Klasik
Logika ini merupakan ciptaan
Aristoteles (384-322 SM), salah seorang filsuf besar yang hidup di zaman Yunani
Kuno. Dialah orang pertama yang melakukan pemikiran sistematis tentang logika.
Karena alasan itu, logika ciptaannya itu disebut logika Aristoteles atau logika
tradisional. Namun demikian, ia sendiri tidak memakai istilah logika, melainkan
istilah analitika dan dialektika. Dengan analitika dimaksudkan penyelidikan
terhadap argumen-argumen yang bertolak dari putusan-putusan yang benar,
sedangkan dialektika adalah penyelidikan terhadap argument-argumen yang
bertolak dari putusan-putusan yang masih diragukan kebenarannya.
Logika Modern
Ilmu logika modern mulai tampak
ke permukaan ketika beberapa ahli matematika Inggris, seperti A. de Morgan
(1806-1871) dan George Boole (1815-1864), mencoba menerapkan prinsip matematika
ke dalam logika klasik. Dengan menggunakan lambing-lambang non-bahasa atau
lambing-lambang matematis, mereka berhasil merintis lahirnya suatu jenis logika
lain, yakni logika modern, yang disebut juga logika simbolis atau logika
matematis, yang sejak pertengahan abad ke-19 dibedakan dari logika klasik.
Logika Berdasarkan Bentuk dan Isi Argumen
Logika Formal
Persoalan mengenai bentuk
penalaran yang menjadi pusat penyelidikan dalam logika formal, tidak lain
merupakan persoalan yang menyangkut proses penalaran. Dalam hal ini yang
dipertanyakan adalah: apakah proses penalaran (dari premis-premis ke
kesimpulan) dalam suatu argumen tertentu tepat atau tidak, lurus atau tidak?
Bila ternyata proses penalarannya tepat, maka kesimpulan yang dihasilkan pasti
tepat juga. Dalam logika formal, argument seperti ini disebut argumen yang
sahih (valid). Jadi, suatu argumen hanya dapat dikatakan sahih dari segi bentuk,
bila kesimpulan penalaran tersebut memang diturunkan secara tepat atau lurus
dari premis-premisnya atau, dengan kata lain, bila kesimpulan yang ditarik itu
sungguh-sungguh merupakan implikasi logis dari premis-premisnya.
Logika Material
Bila logika formal berbicara
tentang tepat tidaknya proses penalaran, maka logika material berurusan dengan
benar tidaknya proposisi-proposisi yang membentuk suatu argumen.Itu berarti
suatu argumen hanya dapat dikatakan benar dari segi isi, bila semua
proposisinya (premis-premis dan kesimpulan) benar, dan itu artinya, bila semua
dalam suatu argument tidak benar, maka argumen tersebut, sebagai satu kesatuan,
dari segi isi, dikatakan tidak benar. Dengan demikian, dalam suatu argumen ada
dua persoalan yang harus dibedakan secara tegas, yakni kesahihan bentuk dan
kebenaran isi.
Logika Berdasarkan Proses Penyimpulan
Logika Deduktif
Logika deduktif secara khusus
memperhatikan penalaran deduktif. Dalam penalaran ini, akal budi bertolak dari
pengetahuan lama yang bersifat umum, dan atas dasar itu menyimpulkan suatu
pengetahuan baru yang bersifat khusus. Penalaran deduktif ini biasanya terwujud
dalam suatu bentuk logis yang disebut silogisme. Silogisme adalah argument yang
terdiri dari tiga proposisi atau pernyataan: proposisi pertama dan kedua
(premis-premis) merupakan titik tolak atau landasan penalaran, sedangkan
proposisi ketiga (kesimpulan) merupakan tujuan penalaran, yang dihasilkan
berdasarkan hubungan yang terjalin antara premis-premisnya. Hubungan antara
premis-premis dan kesimpulan , dengan demikian merupakan hubungan yang tak
terpisahkan satu dari yang lain. Tepat tidaknya sifat hubungan tersebut menjadi
pusat pengamatan logika deduktif. Itu berarti, setiap argumen deduktif adalah
sahih atau tidak sahih, dan tugas logika deduktif adalah untuk menjelaskan
sifat dari hubungan antara premis-premis dan kesimpulan dalam argumen yang
sahih, sehingga dengan itu kita dapat membedakan argumen-argumen yang sahih
dari argumen-argumen yang tidak sahih.
Logika Induktif
Jenis logika ini berurusan
dengan penalaran induktif. Tidak seperti dalam penalaran deduktif, dalam
penalaran induktif, akal budi justru beranjak dari pengetahuan lama mengenai
sejumlah kasus sejenis yang bersifat khusus, individual, dan konkret yang
ditemukan dalam pengalaman inderawi, dan atas dasar itu menyimpulkan
pengetahuan baru yang bersifat umum.Setiap argumen induktif selalu memiliki
tiga ciri khas, yakni pertama, sintesis, artinya kesimpulan ditarik dengan
jalan mensinstesiskan atau menggabungkan kasus-kasus yang terdapat dalam
premis-premis, kedua, general artinya kesimpulan yang ditarik selalu meliputi
jumlah kasus yang lebih banyak atau yang lebih umum sifatnya ketimbang jumlah
kasus yang terhimpun dalam premis-premis, ketiga, aposteriori artinya kasus-kasus
konkret yang dijadikan landasan atau titik tolak argumen, selalu merupakan buah
hasil pengamatan inderawi.
No comments:
Post a Comment